Pada dasarnya, seorang laki-laki berkecenderungan untuk
memilih wanita yang cantik. Sedangkan wanita, berkencenderungan untuk memilih
laki-laki yang berharta. Maka, kalau seseorang punya anak laki-laki atau
saudara laki-laki, mau menikah, maka pertanyaan yang sering muncul adalah
“Calon istrimu cantik atau tidak” dan jarang ada pertanyaan “Calon istrimu
kerjanya dimana”.
Begitu juga sebaliknya, kalau seseorang punya anak perempuan
atau saudara perempuan mau menikah, maka pertanyaan yang sering muncul adalah
“Calon suamimu kerjanya dimana” dan jarang ada pertanyaan “Calon suamimu
ganteng atau tidak”.
Kalau kita mau jujur, sebagai seorang laki-laki, ingin
menikah, juga berkecenderungan mencari wanita yang cantik. Begitu juga
sebaliknya, kalau kita sebagai wanita, berkecenderungan mencari laki-laki yang
berharta. Minimal, laki-laki itu sudah berpenghasilan yang diharapkan bisa
menghidupi keluarga. Gambaran pelajaran dari Novel “Pudarnya Pesona Cleopatra”
yaitu Novel Psikologi Pembangun jiwa, karangan Habiburrahman El Shirazy,
Penulis Novel best seller Ayat-ayat cinta, semoga bisa jadi renungan bagi kita
bersama.
Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada
dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.”
Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan
Solo dulu” kata ibu.”Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis
akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon
keikhlasanmu”, ucap beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku
pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin
menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan
diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja
dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri
untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata
ibu yang amat kucintai.
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar
kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan
yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana
cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante
Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis
Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan
hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah.
Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha
menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari
pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta,
Pestapun meriah dengan hiburan group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa
teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah
dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa
liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan
cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca
ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota
Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah
hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan
makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum
juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap
terasa asing.
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana
mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh
rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan
kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak
acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.Aku
merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku
sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun
merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya,
tetapi kujawab ”tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih
harus belajar berumah tangga”.
Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika
kupanggil ‘mbak’, “ kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah
tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam”
jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama
kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku,
tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam
tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang
dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk
membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi
pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh
pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena
kepatunganku.
Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan.
Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan
segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah
habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas
kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji
dengan teman.
Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa”
tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang
menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian
yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun,
aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah
berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe”. Aku diam
saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat
aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan
tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk
angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana
sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa
yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. “Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ”
Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil
tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana
dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau.
Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi
tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali
sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir
titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia
mengundangku untuk makan malam di istananya.”Aku punya keponakan namanya Mona
Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku
untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat
memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku
datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali.
Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas,
bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana
membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkanaku Mas, membuat
Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas
mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu
indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia,
dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah
dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku
tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku
benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana.
Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona
gadis-gadis titisan Cleopatra.” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu
Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk,
kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak
datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm.
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas
wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf
jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak
meninggalkan aku di ruang kerja.
“Mbak! Eh maaf, maksudku… Dinda Hana!, panggilku dengan
suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!”sahut Hana langsung
menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia
berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya
sedikit berbinar. “Terima kasih dinda, kita berangkat bareng kesana, habis
sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum
yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah
senyum bersinar dibibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai
baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan
ya?”.
Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar
biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh
padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak
suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.
Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki
diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang
kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. kecantikan aura titisan Cleopatra
itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci
diriku sendiri didunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung
Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana,
kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.
“Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam
keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan ibundaku
serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia.
Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan
ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku
adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai
pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya
pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana. Sambutan
sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana
yang begitu kuat menjaga kewibawaanku dimata keluarga. Pada ibuku dan semuanya
tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami
yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku
sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan
mertuaku yang menyindir tentang keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku
menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang
cucu” kata ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah
kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku
tergagap dan mengangguk sekenanya.Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap
bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai
suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan
bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha
Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.
Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita
semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah
hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga
Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku
bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah,
betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku. Dan akhirnya datanglah hari itu,
usia kehamilan Raihana memasuki bulan keenam. Raihana minta ijin untuk tinggal
bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan
kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku
mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal
dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, “Mas untuk menambah biaya
kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh
dibawah bantal, nomor pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega.
Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah
apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan
segalanya.Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah
di Mesir.Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat
aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku
benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual.
Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air
panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki
punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.
Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi.
Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan
terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku
nggak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di
kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan
mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor
bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir.
Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa
arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman
hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah
menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ”Dengan orang
mana?. “Orang Jawa”. “Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari
Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah.
Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah,
alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. “Kau sangat beruntung, tidak
sepertiku”. “Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah,
seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana
seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. “Kamu tentu tahu kan gadis
Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya
menderita seperti ini”.
Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang
yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama
kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu,
tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi
pelajar dari Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya,
tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama
saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah
tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak
bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat
garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan
dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi
masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari
mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih
selamat dari pada denganYasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya
tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi
Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot
rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali
ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia.
Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.
Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap
tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa
memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup
semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah.
Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun, tetapi tiga tahun sekali
Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan
anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam
diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni
Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu
dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa
yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rendang, saya harus ke warung. Yasmin
tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya
memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti
neraka.
Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha
saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak
mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya.
Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal meletakkan kecantikan
diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan
saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang
akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis.
Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut.
Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.
Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku
menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak
bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek
menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan
temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia
karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang
menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini
Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya
mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir
sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat
sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak.
Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya
terbayang dimataku,tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba
ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak
pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan.
Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku
belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang
sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan.
Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku
mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim,
aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin
memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak
langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan,
yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu.
Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum
pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku
dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.
Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi
ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku
zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan
belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa.
Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap
setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya
cinta sejati dariku.
“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh
dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran.
Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya
hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan.
YaRabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis
Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah
hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu,
melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu.
Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh
derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku
dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang
apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya?
Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah
pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia
karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan
penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya.
Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan
memuliakannya.
Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya
karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia
dengan teguran-Mu.
Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang
layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh
rasa haru yang luarbiasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan
Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan
pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus
bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan
cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk
dalam jiwaku.
Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta
Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihana tiba-tiba
begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata.
Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku
dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan airmataku
yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris
tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap airmataku. Melihat
kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran
dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis.
Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telahterjadi.” Raihana istrimu..istrimu
dan anakmu yang dikandungnya”. “Ada apa dengan dia”. “Dia telah tiada”. “Ibu
berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di
kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat.
Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan
dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa
membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu
menderita. Dia minta kau meridhionya”. Hatiku bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak
memberi kabar padaku?”. “Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah
mengutus seseorang untukmenjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada.
Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan.
Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak
mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami
sangat sedih, Jadi maafkanlah kami”. Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu.
Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku
ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya
dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku
untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan
penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah
gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada
dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat
menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin
Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.
Inilah hidup, kadang-kadang kita menginginkan sesuatu, tapi
tidak baik menurut Allah swt, dan kadang-kadang kita tidak menginginkan
sesuatu, tapi baik menurut Allah swt. Jadi hidup ini adalah biarlah Tuhan yang
merencanakan kehidupan kita, sebab Tuhan lebih tahu dari kita. Tugas kita
adalah berusaha yang terbaik, dan selalu menerima keyakinan dengan lapang dada,
kalau pilihan Tuhan, pasti terbaik.
Berani hadapi tantangan untuk selalu berlapang dada dengan
pilihan terbaik sang Pencipta atau kita selalu sempit dada sampai ajal tiba!!!.
Bagaimana pendapat Anda???
dikutip dari website http://amri.web.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar